Beranda Berita Komisi I RDPU dengan Pakar Bahas RUU Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa

Komisi I RDPU dengan Pakar Bahas RUU Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa

195
0

Komisi I DPR RI melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan pakar, akademisi dan LSM dengan agenda menerima masukan terhadap RUU tentang Pengesahan International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa).

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto hari ini, Rabu (14/9/2022) mengatakan Komisi I DPR mendengarkan masukan dari Marzuki Darusman, Prof. Bivitri Susanti, Fatia MAulidiyanti dan Usman Hamid tentang mengenai konvensi internasional tentang perlindungan terhadap semua orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa sebelum diratifikasi. “Ini masukan yang sangat berharga. Kami (Komisi I) bersepakat menjunjung tinggi hak asasi manusia dan akan segera membawa ini ke rapat paripurna untuk diratifikasi,” kata Utut saat memimpin RDPU di ruang rapat Komisi I, Senayan, Jakarta.

Senada, Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Idham Samawi menyampaikan ratifikasi terhadap konvensi ini sangat strategis karena bagian dari melaksanakan cita-cita proklamasi kemerdekaan yang ada di alinea ke 4 pembukan UUD 1945, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan sosial dan juga bagian dari melaksanakan cita- cita proklamasi kemerdekaan yang tersirat dari pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia baik didalam maupun luar negeri.

Sebelumnya, Marzuki Darusman menyampaikan menyambut baik langkah DPR dan Pemerintah untuk meratifikasi konvensi internasional tentang perlindungan terhadap semua orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa. “Ini konvensi yang terakhir yang belum diratifikasi oleh pemerintah, dari 9 konvensi inti PBB. Ini adalah suatu gambaran yang menunjukan kehati-hatian Indonesia untuk menyelaraskan sistem hukum kita dengan sistem hukum internasional,” katanya.

Kemudian, disampaikan Prof Bivitri Susanti, Indonesia sudah meratifikasi 8 dari 9 konvensi yang ada. Adapun konvensi yang sudah diratifikasi diantaranya; Konvensi Anti Diskriminasi Rasial, Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik, Konvensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Perlindungan Hak Perempuan, Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya dan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Hanya Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang belum diratifikasi.

Sembilan konvensi ini adalah instrumen dalam mendukung hak asasi manusia Internasional yang perlu menjadi bagian dari hukum nasional. Kalau konvensi ini sudah diratifikasi maka genaplah sudah kontribusi Indonesia untuk menyumbang pada peradaban dunia.

“Besar harapan kami konvensi ini segera dapat disetujui. Mengingat Menlu sudah menandatangani Konvensi ICPED ini sejak tahun 2010. Adapun, arti penting konvensi ini merujuk pada UUD 1945 yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,” katanya.

Disampaikan Bivitri dalam konteks legislasi, Ada 3 hal yang perlu dilakukan untuk menutup celah hukum dalam mengkriminalisasi penghilangan orang secara paksa. “Ada celah hukum yang membutuhkan upaya legislatif dari DPR RI. Pertama, kekosongan hukum, celah dalam pemidanaan dan celah dalam perlindungan korban,” sebutnya.

Kosongan hukum disini adalah KUHP tidak mengatur pemidanaan tentang penghilangan orang secara paksa tindakan tersebut baru masuk ke dalam kerangka hukum pidana Indonesia setahun kemudian dengan dikeluarkanya UU nomor 26 tahun 2006 tentang pengadilan HAM. Namun UU ini tidak mengkriminalisasi secara khusus.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here